IKA MMR UGM: Rumah Sakit Tambah 88%, Tapi Dokter dan Layanan Dasar Kurang

Pertumbuhan Rumah Sakit di Indonesia yang Tidak Seimbang

YOGYAKARTA – Pertumbuhan rumah sakit di Indonesia mengalami peningkatan signifikan dalam satu dekade terakhir, terutama sejak program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berjalan. Namun, peningkatan jumlah fasilitas kesehatan ini belum diimbangi dengan pemerataan tenaga medis dan penguatan layanan kesehatan dasar.

Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Alumni Magister Manajemen Rumah Sakit (IKA MMR) Universitas Gadjah Mada (UGM), dr Untung Suseno Sutarjo, menyampaikan bahwa jumlah tenaga kesehatan di Indonesia masih belum mencukupi dan penyebarannya tidak merata. Hal ini menjadi tantangan besar di sektor kesehatan.

“Tantangan kalau ekosistem industrinya kan kita mulai dari tenaga yang kurang. Tenaga kesehatannya, kurangnya itu artinya tidak tersebar merata,” ujar Untung kepada Pandangan Jogja setelah acara Seminar Nasional Indonesian Health Industry Outlook 2026 oleh IKA MMR UGM di Hotel Artotel Suites Bianti Yogyakarta, Sabtu (18/10/2025).

Berdasarkan data Sistem Informasi Sumber Daya Manusia Kesehatan (SISDMK) 2025 Kementerian Kesehatan RI, sebanyak 4,6 persen puskesmas belum memiliki dokter. Sebanyak 38,8 persen puskesmas belum memenuhi standar minimal sembilan jenis tenaga kesehatan, dan 27,1 persen RSUD belum memiliki tujuh spesialis dasar sesuai ketentuan.

Untung menjelaskan, jumlah rumah sakit justru melonjak sejak JKN diluncurkan. Meski akses berobat menjadi lebih mudah, layanan primer seperti puskesmas dan klinik justru makin terpinggirkan.

“Kalau kita lihat, JKN dengan BPJS itu kan sudah berlangsung 11 tahun ya. Waktu itu aja kalau kita lihat jumlah rumah sakitnya itu sudah naik 88 persen,” ungkap Untung.

“Orang dengan ada JKN itu malah bikin rumah sakit banyak. Akibatnya biayanya memang besar karena akses tambah bagus, orang berobat. Tapi kita nggak siapin yang level satunya, level dasarnya, sehingga bisa ngerem jangan semuanya ke rumah sakit,” jelasnya.

Ia menegaskan pentingnya memperkuat layanan primer agar sistem kesehatan lebih efisien. Puskesmas dan klinik harus menjadi garda pertama dalam penanganan penyakit sebelum pasien dirujuk ke rumah sakit.

“Kita ingin juga fasilitas kesehatan primer itu diberikan juga bantuan yang cukup besar ya. Klinik, puskesmas itu mesti kuat juga, karena mereka yang berusaha untuk mencegah dan juga menurunkan angka kesakitan. Jadi jangan semua orang ke rumah sakit, tapi mereka dulu dan mereka bisa menanganinya. Atau setelah mereka ditangani di rumah sakit, mereka bisa dirujuk balik ke sana (puskesmas),” kata Untung.

Ia menambahkan, pemerintah perlu memberi dukungan agar tenaga medis mau bekerja di luar kota besar.

“Kita dokter memang kurang, dokter spesialis kita kurang. Pemerintah harus bantu untuk itu, supaya memenuhi kebutuhan itu. Seluruh penyebaran juga, jadi supaya orang itu senang bekerja di daerah, bukan hanya di kota besar,” katanya.

Perubahan Regulasi yang Harus Diadaptasi

Sementara itu, Anggota Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit Indonesia, dr Kuntjoro Adi Purjanto, mengingatkan agar sektor kesehatan mampu beradaptasi dengan perubahan regulasi yang cepat.

“Keadaan tenang itu, untuk rumah sakit, bukan berarti tenang dan baik. Mudah terjadi turbulensi. Contohnya yang paling banyak perubahan regulasi. Nah ini kita harus kuat, kita berusaha dan bersama-sama servis yang seterusnya,” kata Kuntjoro.

“Yang perlu dijaga nanti kami ini untuk menjaga ritme. Untuk disiplin ritme tentang perubahan-perubahan yang harus selalu adaptasi, dan dilakukan transformatif, dan selalu kolaboratif,” ujarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *