Peran Industri Kilang Minyak dan Gas dalam Hilirisasi Ekonomi Indonesia
Industri kilang minyak dan gas (migas) memiliki peran penting dalam implementasi kebijakan hilirisasi yang sedang digencarkan oleh pemerintah. Bahkan, aktivitas hilirisasi di sektor migas telah berlangsung lama, jauh sebelum kebijakan resmi diberlakukan. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengolahan sumber daya alam sudah ada sejak lama.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, menjelaskan bahwa keberadaan kilang minyak dan gas sejak era pemerintahan kolonial Belanda merupakan bentuk awal dari hilirisasi migas. Ia menyatakan bahwa kebijakan hilirisasi menjadi tulang punggung utama dalam mencapai visi Indonesia Emas 2045 dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen.
Kebijakan hilirisasi mencakup delapan sektor dan 28 komoditas hingga tahun 2040. Proyeksi investasi mencapai 618 miliar dollar AS atau sekitar Rp 10.197 triliun. Selain itu, kebijakan ini juga diharapkan mampu meningkatkan ekspor sebesar 857,9 miliar dollar AS atau sekitar Rp 14.166 triliun, serta menambah Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 235,9 miliar dollar AS atau sekitar Rp 3.892 triliun. Dalam hal lapangan kerja, kebijakan ini diharapkan dapat menciptakan 3.016.179 kesempatan kerja.
Komaidi menilai bahwa minyak mentah dan gas yang diproduksi oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) sudah lama diolah menjadi produk turunan seperti bahan bakar minyak (BBM), bahan bakar gas (BBG), liquefied petroleum gas (LPG), pupuk, dan petrokimia. Proses ini membuktikan bahwa hilirisasi migas sudah berjalan sejak lama.
Menurutnya, ada tiga alasan mengapa hilirisasi migas penting bagi Indonesia. Pertama, potensi efek berganda dan nilai tambah ekonomi yang mendukung target pertumbuhan 8 persen. Kedua, industri kilang dan sektor pendukung sudah berjalan baik sejak lama. Ketiga, sektor migas memiliki keterkaitan luas dengan perekonomian nasional.
Dari analisis Input-Output (IO) 2016, terdapat sedikitnya 12 sektor yang menggunakan output dari sektor pertambangan migas. Tiga sektor dengan porsi input terbesar adalah barang hasil kilang migas (sektor 95), kimia dasar kecuali pupuk (sektor 96), dan pupuk (sektor 97). Dalam 10 tahun terakhir, ketiga sektor tersebut menghasilkan nilai tambah ekonomi sebesar Rp 17.671 triliun. Rinciannya, sektor barang hasil kilang migas memberikan kontribusi sebesar Rp 6.508 triliun, kimia dasar sebesar Rp 6.802 triliun, dan pupuk sebesar Rp 4.361 triliun.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa ketiga sektor memiliki indeks keterkaitan di atas rata-rata. Sektor 95 mencatat backward linkage 0,91025 dan forward linkage 3,70034. Sektor 96 memiliki backward linkage 1,10624 dan forward linkage 5,66037. Sedangkan sektor 97 mencatat backward linkage 1,06363 dan forward linkage 1,92073.
Dengan basis data IO 2016, multiplier effect ketiganya juga relatif tinggi, yakni 7,18 untuk sektor barang hasil kilang migas, 7,53 untuk kimia dasar, dan 4,73 untuk pupuk. Dengan nilai indeks tersebut, ketiganya tergolong sebagai sektor-sektor dengan tingkat multiplier effect yang kuat dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.