Kasus Korupsi Haji Rugikan Rp1 Triliun, KPK Buka Peluang Periksa Jokowi

JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang mempertimbangkan kemungkinan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap mantan presiden Indonesia, Joko Widodo, dalam kasus dugaan korupsi kuota tambahan haji. Penyidikan ini berawal dari dugaan penyelewengan kuota sebanyak 20.000 jemaah yang kini telah naik ke tahap penyidikan.

Pemanggilan ini muncul setelah Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan bahwa lembaga antirasuah tersebut tidak akan tebang pilih dalam memanggil saksi untuk kepentingan penyidikan. Menurut Budi, pemanggilan siapa pun, termasuk Jokowi, sepenuhnya bergantung pada kebutuhan penyidik untuk membuat terang perkara.

“Pemanggilan terhadap semua saksi tentu tergantung kebutuhan dari penyidik,” ujar Budi Prasetyo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (11/8/2025). “KPK terbuka untuk memanggil siapa saja yang diduga mengetahui konstruksi perkara ini dan dapat membantu membuka dan membuat terang dari penanganan perkara ini.”

Keterkaitan dengan Presiden Sebelumnya

Nama Jokowi dikaitkan dalam kasus ini karena tambahan 20.000 kuota haji untuk tahun 2024 merupakan hasil lobi dan permintaan langsung yang diajukan oleh Jokowi selaku presiden RI saat itu kepada pemerintah Arab Saudi. Tujuan awal dari permintaan kuota tambahan adalah untuk memangkas antrean haji reguler yang sangat panjang, bisa mencapai belasan tahun.

Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa tujuan awal permintaan kuota tersebut adalah untuk memangkas antrean haji reguler yang sangat panjang, bisa mencapai belasan tahun.

“Tambahan 20.000 kuota ini hasil pertemuan atau kunjungan Presiden Republik Indonesia [era itu adalah Jokowi] dengan pemerintah Arab Saudi di mana alasannya adalah permintaan kuota ini karena kuota reguler itu nunggunya sampai 15 tahun lebih,” kata Asep.

Dugaan Penyelewengan Alokasi Kuota Tambahan

Dugaan tindak pidana korupsi terjadi ketika kuota tambahan haji tersebut tidak dialokasikan sebagaimana mestinya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, pembagian kuota seharusnya 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen untuk haji khusus.

Jika mengikuti aturan, dari 20.000 kuota tambahan, seharusnya 18.400 dialokasikan untuk jemaah haji reguler dan hanya 1.600 untuk haji khusus. Namun, dalam praktiknya, kuota tersebut dibagi rata 50:50, yakni 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.

“Itu yang menjadi perbuatan melawan hukumnya, itu tidak sesuai aturan itu, tapi dibagi dua,” jelas Asep Guntur Rahayu. Penyimpangan inilah yang disinyalir menjadi sumber kerugian negara yang ditaksir KPK mencapai lebih dari Rp1 triliun.

Fokus pada Pemberi Perintah dan Aliran Dana

Dengan naiknya status perkara ke tahap penyidikan, KPK kini berfokus untuk membidik pemberi perintah di balik kebijakan ilegal tersebut serta pihak-pihak yang menikmati aliran dananya. Potensi tersangka terkait dengan alur-alur perintah dan aliran dana.

“Potential suspect-nya adalah tentunya ini terkait dengan alur-alur perintah, kemudian juga aliran dana,” ungkap Asep Guntur Rahayu. “Jadi terkait dengan siapa yang memberikan perintah terhadap pembagian kuota yang tidak sesuai dengan aturan ini.”

Mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, telah dimintai keterangan pada Kamis lalu (7/8/2025). KPK memastikan akan kembali memanggil Yaqut Cholil Qoumas untuk pemeriksaan lebih lanjut dalam tahap penyidikan.

Status Perkara dan Tindakan KPK

Kini, KPK telah menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) umum dan akan menjerat para pihak yang terlibat dengan Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Proses penyidikan ini menunjukkan komitmen KPK dalam mengungkap dan menindak tegas dugaan korupsi yang merugikan keuangan negara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *