Era Baru Monkey Business: Perdagangan Emosi di Dunia Digital
Dulu, orang bisa ditipu dengan barang-barang seperti ikan louhan atau batu akik. Kini, tipuan berubah bentuk menjadi lebih halus dan bahaya, yaitu perdagangan emosi. Dunia terus berkembang, tetapi pola penipuan tetap sama: memanfaatkan keinginan untuk kaya cepat atau dipercaya. Dalam dunia digital, ini disebut sebagai monkey business yang kini mengambil bentuk baru.
Apa Itu Monkey Business?
Monkey business merujuk pada bisnis tipu-menipu yang dikemas seolah-olah nyata. Dulu, barangnya bisa berupa benda fisik seperti tanaman janda bolong atau ikan jenong. Kini, barangnya bisa berupa “data investasi”, “foto NFT”, hingga “doa digital”. Meski terlihat sah di permukaan, nilainya rapuh dan mudah hilang ketika tren surut. Akibatnya, yang tersisa hanyalah penyesalan.
Kini, monkey business telah berubah wajah. Ia tidak lagi menjual barang, tetapi menjual emosi. Dalam era digital, konflik pribadi bisa dijadikan konten publik, air mata bisa menjadi sumber traffic, dan penderitaan bisa dimonetisasi menjadi pendapatan melalui AdSense.
Drama Pribadi Jadi Konten Viral
Contoh terbaru dari ekonomi emosi ini adalah kasus Yai MIM dan Sahara. Sebuah masalah pribadi tentang perumahan dan hubungan antarindividu tiba-tiba menjadi tontonan nasional. TikTok dan YouTube berebut menayangkan potongan video yang paling emosional, seperti tangisan, tuduhan, dan klarifikasi. Bukan karena publik peduli kebenaran, tetapi karena drama laku keras di pasar algoritma.
Dalam ekonomi lama, nilai ditentukan oleh kelangkaan barang. Kini, dalam ekonomi baru, nilai ditentukan oleh kepekatan air mata. Siapa yang lebih pandai membentuk citra korban, akan menang di ruang komentar. Dan siapa yang lebih viral, akan menang di ruang ekonomi.
Iba sebagai Bisnis
Ini adalah versi baru dari monkey business: bukan menjual barang, tapi menjual iba. Para content creator tahu bahwa rasa belas kasihan manusia bisa diubah menjadi uang. Maka, penderitaan ditata dengan pencahayaan yang bagus, musik latar lembut, dan judul video penuh kata “haru” dan “doakan”.
Iba bukan lagi sekadar rasa, melainkan alat promosi. Korban bukan lagi manusia, melainkan brand awareness. Ironinya, publik juga ikut bersalah. Kita menonton, membagikan, dan berkomentar, seolah-olah sedang menegakkan keadilan. Padahal yang kita tegakkan adalah engagement rate. Kita pikir sedang berempati, padahal hanya sedang menguntungkan mesin iklan.
Podcast dan Peradilan Algoritma
Platform seperti YouTube dan podcast kini menjadi pengadilan digital tanpa hakim. Orang datang untuk “klarifikasi”, tapi sebenarnya sedang melakukan rebranding. Yang penting bukan fakta, melainkan bagaimana narasi dikemas. Kata yang tidak diucapkan bisa lebih menentukan daripada yang diucapkan. Air mata yang jatuh di detik ke-13 video bisa lebih berharga daripada bukti hukum.
Bahkan pembatalan tayangan pun kini bisa dijadikan strategi promosi. Semakin ditahan, semakin ditunggu. Semakin dilarang, semakin dicari. Keadilan berubah menjadi cliffhanger.
Akal Sehat Digital
Dalam situasi ini, satu-satunya pertahanan kita adalah akal sehat digital. Sebelum menekan tombol subscribe, kita perlu bertanya: Apakah ini perjuangan, atau pertunjukan? Apakah ini kebenaran, atau sekadar konten yang dikurasi dengan algoritma emosi?
Sebenarnya, monkey business tak pernah benar-benar hilang. Ia hanya berganti wajah. Dulu menipu lewat batu akik, sekarang lewat belas kasihan. Dulu memanipulasi harga pasar, sekarang memanipulasi perasaan manusia.
Penutup
Kita hidup di zaman di mana semua hal bisa dijual—termasuk kesedihan. Dan yang paling laku di pasar digital hari ini bukan kebahagiaan, melainkan air mata yang viral. Jadi, kalau ada yang datang dengan wajah iba sambil berkata “dukung aku, tonton videoku,” ingatlah: bisa jadi yang mereka jual bukan cerita, tapi dirimu sebagai penonton yang mudah tersentuh.
Karena dalam bisnis monyet era digital, yang paling sering ditipu bukanlah orang lain, melainkan akal sehat kita sendiri.