BANDUNG – Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya penurunan kecil pada Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) nasional. Namun, di balik angka ini, terdapat fakta yang sangat mengkhawatirkan, khususnya bagi provinsi dengan populasi terbesar, yaitu Jawa Barat.
Meski secara nasional TPT turun menjadi 4,76 persen, kondisi di lapangan jauh dari ideal. Disparitas tingkat pengangguran antarprovinsi masih sangat lebar, menciptakan jurang yang dalam antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Papua, Kepulauan Riau, dan Jawa Barat menempati posisi tiga teratas dengan angka pengangguran tertinggi. Fakta ini seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintah daerah dan masyarakat.
Jawa Barat, sebagai salah satu lumbung ekonomi dan SDM nasional, justru berada di posisi ketiga dengan TPT mencapai 6,74 persen. Angka ini hanya sedikit di bawah Papua (6,92 persen) dan Kepulauan Riau (6,89 persen).
Kondisi ini menggambarkan betapa kompleksnya tantangan ketenagakerjaan di provinsi tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata tidak serta-merta mampu menyerap seluruh angkatan kerja yang ada.
Sektor Ekonomi dan Angkatan Kerja: Ada Pertumbuhan, Tapi Tidak Merata
Laporan BPS juga mencatat peningkatan jumlah angkatan kerja yang cukup signifikan. Pada Februari 2025, total angkatan kerja mencapai 153,05 juta orang, naik 3,67 juta dibanding tahun lalu.
Hal ini menunjukkan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) meningkat 0,80 persen poin menjadi 69,52 persen. Artinya, semakin banyak penduduk usia produktif yang aktif mencari pekerjaan atau sudah bekerja.
Namun, peningkatan ini tidak diiringi dengan penyerapan yang merata. Lapangan usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor perdagangan besar, eceran, serta reparasi dan perawatan mobil dan sepeda motor.
Sektor ini berhasil menambah 980 ribu pekerja. Ini bisa menjadi indikasi bahwa sektor formal masih terbatas, sehingga banyak yang beralih ke sektor informal, seperti perdagangan eceran, untuk bertahan hidup.
Dengan rata-rata upah buruh yang hanya naik tipis menjadi Rp3,09 juta per bulan (naik 1,78 persen dari tahun sebelumnya), daya beli masyarakat, terutama para pekerja, juga patut menjadi perhatian.
Kenaikan upah yang tidak signifikan bisa memicu ketidakstabilan ekonomi rumah tangga dan membuat banyak orang semakin kesulitan memenuhi kebutuhan dasar.
Jurang Pengangguran di Jabar: Laki-laki Lebih Terancam dari Perempuan?
Fakta di Jawa Barat jauh lebih mengkhawatirkan. BPS Jawa Barat secara spesifik menyoroti masalah pengangguran usia muda, yang angkanya masih sangat tinggi, terutama di perkotaan.
Ironisnya, data menunjukkan bahwa pengangguran laki-laki jauh lebih tinggi dibanding perempuan. Pengangguran laki-laki mencapai 26,67 persen, sedangkan perempuan hanya 19,42 persen.
Angka ini membantah stigma bahwa perempuan lebih sulit mendapatkan pekerjaan. Justru laki-laki muda di Jawa Barat menghadapi persaingan yang lebih ketat atau lapangan pekerjaan yang lebih sempit.
Disparitas juga terlihat jelas antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Di perkotaan, angka pengangguran mencapai 24,02 persen, sedikit lebih tinggi dari perdesaan yang berada di angka 22,04 persen.
Hal ini dapat disebabkan oleh tingginya migrasi penduduk dari desa ke kota dengan harapan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Namun, realitasnya, lapangan kerja di perkotaan tidak mampu menampung lonjakan populasi pencari kerja ini.
Siapa Sebenarnya yang Paling Terluka? Lulusan SMK dan SMA Jadi Korban
Analisis mendalam dari BPS Jawa Barat menunjukkan bahwa kelompok yang paling rentan menjadi pengangguran adalah lulusan sekolah menengah.
Data Sakernas 2024 mencatat 72,36 persen penganggur di Jawa Barat berasal dari lulusan SMA dan SMK. Dari angka tersebut, lulusan SMK menjadi penyumbang terbesar dengan persentase 40,71 persen.
Kondisi ini sangat ironis. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) didirikan dengan tujuan utama menghasilkan lulusan siap kerja. Namun, kenyataannya, lulusan SMK justru kesulitan mendapatkan pekerjaan.
Ada beberapa faktor yang mungkin memicu masalah ini, seperti kurikulum yang tidak sesuai dengan kebutuhan industri, minimnya kolaborasi antara sekolah dan dunia usaha, atau kurangnya kompetensi yang relevan.
Selain itu, lulusan SMA juga tidak luput dari masalah ini. Dengan pendidikan yang lebih umum, mereka seringkali tidak memiliki keterampilan spesifik yang dibutuhkan oleh pasar kerja. Alhasil, banyak dari mereka yang terpaksa bersaing di sektor informal atau bahkan memilih untuk tidak bekerja sama sekali.
Fakta Mengejutkan dari Data TPT Provinsi di Indonesia
Jika dilihat secara nasional, masalah pengangguran memang menjadi momok bagi banyak daerah. Berdasarkan data terbaru dari BPS, ada 10 provinsi yang memiliki angka pengangguran tertinggi. Berikut adalah daftar provinsi yang seharusnya menjadi perhatian serius bagi pemerintah pusat dan daerah:
- Papua – 6,92 Persen
- Kepulauan Riau – 6,89 Persen
- Jawa Barat – 6,74 Persen
- Papua Barat Daya – 6,61 Persen
- Banten – 6,64 Persen
- DKI Jakarta – 6,18 Persen
- Sulawesi Utara – 6,03 Persen
- Maluku – 5,95 Persen
- Sumatera Barat – 5,69 Persen
- Kalimantan Timur – 5,33 Persen
Data ini menunjukkan bahwa meskipun pasar kerja Indonesia diklaim membaik secara agregat, tantangan pengangguran masih sangat tinggi di sejumlah daerah. Provinsi dengan populasi padat dan perekonomian yang kompleks, seperti Jawa Barat dan Banten, menjadi contoh nyata bahwa pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup.
Dibutuhkan kebijakan yang lebih holistik dan terarah untuk mengatasi masalah ini, mulai dari perbaikan kurikulum pendidikan, pelatihan kerja yang relevan, hingga insentif bagi industri untuk menyerap lebih banyak tenaga kerja. Tanpa intervensi yang serius, angka-angka ini bisa menjadi bom waktu yang siap meledak di masa depan.
Solusi Jangka Panjang: Pendidikan Vokasi dan Kolaborasi Industri
Untuk mengatasi masalah pengangguran, khususnya di Jawa Barat, diperlukan solusi jangka panjang yang melibatkan berbagai pihak. Pemerintah Provinsi Jawa Barat bisa berfokus pada revitalisasi pendidikan vokasi dengan memastikan kurikulum yang diajarkan benar-benar sesuai dengan kebutuhan industri.
Kolaborasi intensif antara SMK, universitas, dan pelaku industri menjadi kunci utama. Program magang yang terstruktur, sertifikasi kompetensi, dan pendampingan karier sejak dini bisa menjadi langkah awal yang efektif.
Selain itu, pemerintah juga perlu menciptakan iklim investasi yang kondusif agar semakin banyak perusahaan, baik lokal maupun asing, yang mau membuka lapangan kerja di Jawa Barat.
Insentif pajak, kemudahan perizinan, dan infrastruktur yang memadai bisa menjadi daya tarik utama. Sektor UMKM juga tidak boleh dilupakan. Dukungan berupa modal, pelatihan, dan akses pasar bisa memberdayakan para pelaku usaha kecil dan menengah untuk menjadi penggerak ekonomi lokal yang menyerap banyak tenaga kerja.
Masa depan Jawa Barat sangat bergantung pada bagaimana pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan menghadapi krisis pengangguran ini. Apakah kita akan terus berpuas diri dengan angka nasional yang tampak baik, atau berani menghadapi kenyataan pahit di daerah dan mencari solusi nyata? Pertanyaan ini menjadi tantangan besar yang harus dijawab.
Bagaimana strategi Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam mempercepat penyerapan lulusan SMK dan SMA agar tidak menambah angka pengangguran muda?