Pajak Pensiun dan Pesangon Diperkarakan di MK – ‘Mengapa Negara Tega?’

Perjuangan Pekerja Bank Swasta untuk Hak Mereka di Mahkamah Konstitusi

JAKARTA – Sejumlah pekerja bank swasta mengajukan uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan ke Mahkamah Konstitusi.

Mereka menuntut agar pemerintah tidak mengenakan pajak atas pensiun maupun pesangon, karena dianggap memberatkan. Bagi mereka, uang pensiun merupakan penghidupan utama di masa tua, ketika fisik melemah dan daya pikir berkurang.

Lyan Widiya, salah satu dari sembilan pekerja tersebut, telah merencanakan masa pensiunnya dengan cermat. Ia menghitung bahwa dana pensiun sebesar Rp500 juta akan digunakan untuk melanjutkan pendidikan anak bungsunya dan bertahan hidup.

Namun, adanya pajak sebesar 25% membuat dirinya cemas. Dengan potongan pajak, hanya tersisa Rp375 juta, yang menurutnya tidak cukup untuk keluarganya selama lima tahun.

Lyan bekerja di sebuah bank swasta hampir 15 tahun, dengan batas usia pensiun 55 tahun. Ia tinggal di Jakarta Selatan sementara keluarganya tinggal di Surabaya. Setiap dua bulan sekali, ia pulang ke rumah. Ia menyatakan bahwa perasaan gelisah ini juga dialami oleh rekan-rekannya. Mereka khawatir akan masa depan yang tidak pasti.

Mereka mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi pada 10 Oktober 2025. Uji materi ini terkait Pasal 4 ayat 1 UU Pajak Penghasilan dan Pasal 17 UU PPH juncto UU Nomor 7 Tahun 2021. Menurut Lyan dan para pemohon, pajak atas pensiun dan pesangon tidak adil, karena uang tersebut merupakan hasil jerih payah pekerja yang dikumpulkan setelah bekerja puluhan tahun.

Pemotongan pajak terhadap pensiun dan pesangon diatur dalam Pasal 4 ayat 1 dan Pasal 21 ayat 5 UU Pajak Penghasilan. Aturan turunan ada di Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009.

Akademisi dan praktisi perpajakan, Prianto Budi Saptono, menjelaskan bahwa pengenaan pajak bersifat final. Pegawai yang sudah membayar pajak atas pesangon atau uang manfaat pensiun tidak perlu memasukkan penghasilan tersebut ke dalam perhitungan PPh tahunannya.

Menurut UU yang berlaku, uang pesangon dan uang pensiun merupakan penghasilan karena bisa digunakan penerima penghasilan untuk menambah konsumsi dan/atau menambah harta.

Namun, iuran pensiun yang dibayarkan oleh pemberi kerja belum merupakan penghasilan, sehingga belum dikenai pajak. Pemotongan pajak baru dilakukan ketika ada pembayaran manfaat pensiun bagi pekerja yang pensiun.

Soal pesangon, itu adalah kompensasi ketika terjadi pemberhentian kerja secara tidak sukarela. Besaran pesangon diberikan berdasarkan masa kerja dan besaran gaji.

Perusahaan membayarkan gaji bagi yang terkena PHK dalam beberapa bulan ke depan sebagai bentuk kompensasi atau bantalan sosial. Makanya, saat mendapatkan pesangon, pekerja harus membayar pajaknya.

Namun, pengamat perpajakan dari Universitas Pelita Harapan, Ronny Bako, melihat dari sudut pandang berbeda. Ia menilai perlakuan pajak terhadap pekerja swasta tidak adil, karena ASN/TNI/Polri bahkan pejabat negara memiliki perlakuan khusus. Pajak pensiun mereka ditanggung oleh negara, sedangkan pekerja swasta tidak.

Menurut Ronny Bako, ini bentuk ketidakadilan. Jika ASN pajak pensiunnya ditanggung negara, kenapa pekerja swasta tidak? Pertanyaan ini menjadi dasar bagi para pemohon ketika menggugat ke Mahkamah Konstitusi.

Pasal 28D UUD 1945 menyatakan setiap orang mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum, mengapa hanya aparatur sipil negara yang diberikan keistimewaan oleh negara.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menanggapi gugatan tentang aturan pajak penghasilan atas pesangon dan dana pensiun yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi.

Ia menyatakan tidak khawatir dan yakin akan memenangkan perkara tersebut. Kementerian Keuangan memiliki dasar hukum yang kuat dalam menetapkan aturan pajak tersebut.

Perlu diingat bahwa masalah pajak pensiun dan pesangon bukanlah isu baru. Berbagai diskusi dan pertanyaan muncul dari berbagai kalangan, termasuk akademisi dan praktisi perpajakan. Tantangan terbesar adalah menciptakan sistem pajak yang adil dan proporsional, tanpa mengabaikan hak-hak dasar pekerja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *