Pasokan Gas Tidak Stabil, Pengusaha Kaca Mengeluh

Masalah Pasokan Gas yang Mengancam Industri

JAKARTA – Industri pengguna gas di Indonesia kembali mengeluhkan kondisi pasokan gas yang tidak stabil, terutama terkait dengan kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT).

Hal ini memengaruhi sejumlah perusahaan yang bergantung pada pasokan gas untuk operasional produksi mereka. Asosiasi Produsen Gelas/Kaca Indonesia (APGI) menyampaikan keluhan ini, menyoroti kesulitan yang dihadapi industri akibat ketidakpastian pasokan dan harga.

Ketua Umum APGI Henry T. Sutanto menjelaskan bahwa saat ini pemasok gas hanya menyediakan 60% dari alokasi gas industri tertentu (AGIT) untuk program HGBT.

Sementara sisanya harus menggunakan gas regasifikasi dari Liquefied Natural Gas (LNG) sebesar 40%. Dengan harga LNG yang lebih mahal, biaya produksi meningkat signifikan, sehingga memengaruhi keuntungan perusahaan.

Henry menilai bahwa pemerintah belum memberikan dukungan yang cukup bagi industri. Tanpa kepastian pasokan dan harga gas, sulit bagi perusahaan untuk menghitung harga pokok penjualan (HPP) secara akurat.

Ia juga menyebutkan bahwa harga gas murah industri dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 76.K/MG.01/MEM.M/2025 ditetapkan sebesar US$7 per MMBTU untuk bahan bakar dan US$6,5 per MMBTU untuk bahan baku. Sementara itu, harga gas LNG mencapai US$14,88 per MMBTU, jauh lebih tinggi daripada harga HGBT.

Akibatnya, ongkos produksi membengkak, dan perusahaan khawatir akan terpaksa mengurangi produksi atau hanya beroperasi sebatas dengan pasokan gas yang tersedia. Hal ini dapat menyebabkan penurunan utilisasi produksi dan dampak negatif terhadap daya saing industri.

Opsi Impor LNG dan Kepatuhan pada Pasokan

Pihak APGI mengakui bahwa opsi impor LNG menjadi salah satu alternatif yang diperlukan untuk menjaga kelangsungan produksi.

Namun, mereka hanya berharap pasokan gas tetap terjaga, tanpa memperhatikan sumber energi yang digunakan. Saat ini, harga gas yang ditetapkan oleh pemasok dinilai sangat tinggi dan memberatkan industri.

Meski demikian, Henry mengakui bahwa ada pengurangan pasokan gas dari hulu, termasuk penurunan produksi dari kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).

Hal ini memperparah masalah pasokan gas yang sudah tidak stabil. Ia menegaskan bahwa sulit bagi industri untuk bersaing dengan negara tetangga jika harga gas di Indonesia jauh lebih tinggi.

Kondisi Pasokan Gas di PGN

PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) juga memberi sinyal adanya defisit pasokan gas yang dikelola oleh perusahaan.

Fajriyah Usman, Corporate Secretary PGN, menjelaskan bahwa penurunan alami produksi gas dari KKKS, gangguan infrastruktur, serta aspek harga berdampak pada pasokan gas. Penurunan produksi secara alami (natural decline) bisa mengganggu pasokan gas yang dikelola PGN.

Selain itu, gangguan operasional di sisi hulu juga turut memengaruhi pasokan. Fajriyah menekankan bahwa PGN bukan perusahaan yang bergerak di sisi hulu, sehingga ketergantungan pada mitra di sisi hulu membuat pasokan gas terpengaruh jika terjadi natural decline.

Dengan kondisi ini, PGN harus terus berupaya untuk menjaga stabilitas pasokan gas agar tidak mengganggu industri di dalam negeri.