Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Tantangan Transparansi di Balik Layanan Pengaduan
JAKARTA – Di balik meja kerjanya yang penuh dokumen, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memegang ponsel pribadinya dengan ekspresi serius.
Bukan karena notifikasi pasar keuangan, melainkan karena ribuan pesan masyarakat yang masuk melalui layanan aduan publik “Lapor Pak Purbaya.”
Dalam sebulan terakhir, jumlah laporan yang masuk mengalami peningkatan signifikan, menunjukkan bahwa masyarakat kini lebih berani menyampaikan keluhan langsung kepada pihak berwenang.
Purbaya membuka data dengan wajah yang sulit ditebak antara bangga dan prihatin. Ia menyebutkan bahwa ada 15.933 pesan WhatsApp yang masuk. Dari jumlah tersebut, sekitar 2.459 pesan berisi ucapan selamat atau pujian, sementara sisanya sebanyak 13.285 laporan sedang dalam proses verifikasi. Dari total itu, hanya 10 laporan yang sudah ditindaklanjuti.
Laporan-laporan ini bukan sekadar keluhan biasa. Sebagian besar berkaitan dengan perilaku oknum Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, lembaga yang saat ini menjadi sorotan publik. Salah satu aduan yang membuat ruangan konferensi pers hening dibacakan langsung oleh Purbaya.
Isinya berasal dari seorang warga yang merasa risih melihat sekelompok petugas Bea Cukai berkumpul setiap hari di sebuah jaringan kedai kopi terkenal, mengenakan seragam dinas sambil membicarakan urusan bisnis pribadi.
“Yang dibicarakan selalu tentang bisnis aset, bagaimana mengamankan aset, baru dapat kiriman mobil bagaimana, jualnya bagaimana. Mohon diawasi dan ditindak,” begitu isi pesan yang dibacakan Purbaya dengan nada tajam.
Suasana di ruangan langsung tegang. Purbaya menatap wartawan dan berkata lantang, “Saya baru tahu, walaupun kita sudah menggebrak-gebrak, di bawah masih begini. Artinya mereka enggak peduli, dianggapnya saya main-main. Bilang, hari Senin depan, kalau ada yang ketemu begini lagi, saya akan pecat!”
Kalimat itu menggema sebagai peringatan keras bagi seluruh jajaran Bea Cukai. Purbaya menegaskan bahwa ia tidak akan memberi ampun pada siapa pun yang mencoreng integritas institusinya.
Namun, laporan yang masuk bukan hanya terkait perilaku aparatur. Masalah peredaran barang ilegal, khususnya rokok tanpa cukai di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, juga ramai dikeluhkan masyarakat.
Dalam salah satu laporan yang dibacakannya, warga menilai aparat Bea Cukai setempat hanya berani menindak warung kecil, sementara distributor besar alias cukong dibiarkan bebas beroperasi.
“Mereka seperti tutup mata dan telinga. Padahal harusnya cukong-cukong besar yang dibasmi, bukan rakyat kecil yang hanya berusaha bertahan hidup,” ujar Purbaya dengan nada kecewa.
Ia tidak tinggal diam. Sebuah tim khusus kini dibentuk oleh Kementerian Keuangan yang terdiri dari staf ahli dari Direktorat Jenderal Bea Cukai dan Direktorat Jenderal Pajak untuk menelusuri setiap laporan yang masuk.
Tim ini, menurutnya, sudah berpengalaman dan tahu persis siapa yang bermain di lapangan. “Mereka saya suruh list. Siapa orang-orang Bea Cukai, siapa cukong-cukongnya di tiap daerah. Kalau nanti ada gangguan atau barang ilegal masuk dan link ke cukong itu, cukongnya kita proses,” ujarnya tegas.
Lebih jauh, Purbaya menegaskan bahwa penertiban tidak akan berhenti pada individu semata, tetapi menyentuh akar budaya organisasi. Ia ingin ada reformasi mental di tubuh kementeriannya, perubahan dari dalam agar kepercayaan publik pulih sepenuhnya.
“Kanal pengaduan seperti ini sangat penting,” ujarnya menutup pembicaraan. “Bukan cuma untuk menampung keluhan, tapi untuk mengubah budaya. Saya enggak main-main. Saya ingin governance culture pemerintah, terutama di Bea Cukai, benar-benar berubah.”
Kini, ribuan laporan sedang diverifikasi satu per satu. Bagi Purbaya, “Lapor Pak Purbaya” bukan sekadar nomor WhatsApp melainkan jendela transparansi antara rakyat dan negara.
Sebuah upaya untuk mengembalikan harapan bahwa pemerintahan yang bersih bukan sekadar mimpi, melainkan komitmen yang nyata.












