Kasus Penganiayaan oleh Anggota TNI yang Mengakibatkan Kematian Korban
MEDAN – Seorang anggota TNI, Sersan Satu Riza Pahlivi, diduga telah melakukan penganiayaan terhadap seorang anak berusia 14 tahun bernama Mikael Histon Sitanggang (MHS) hingga korban meninggal dunia di Medan pada 24 Mei 2024.
Peristiwa ini terjadi saat korban sedang melihat tawuran di bantaran rel kereta api di kawasan Benteng Hulu, Tembung, Kabupaten Deliserdang, Sumatra Utara.
Riza Pahlivi, yang merupakan Babinsa Koramil 0201-03/MD, dituduh melanggar beberapa pasal dalam hukum Indonesia. Dalam persidangan, ia didakwa dengan Pasal 76c jo Pasal 80 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Ancaman hukuman yang diberikan adalah 15 tahun penjara dan denda sebesar Rp 3 miliar. Selain itu, Riza juga didakwa melanggar Pasal 359 KUHP yang mengatur tindak pidana kelalaian yang menyebabkan matinya orang lain. Pasal ini menjeratnya dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara atau kurungan selama satu tahun.
Selama proses persidangan yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Pengadilan Militer (Dilmil) I-02 Medan Ziky Suryadi, terdakwa tidak ditahan.
Pada hari Kamis, 2 Oktober 2025, Oditur Militer Tecki Waskito menuntut Riza Pahlivi dihukum selama satu tahun penjara, denda Rp 500 juta, serta subsider tiga bulan kurungan. Selain itu, terdakwa juga diminta membayar restitusi sebesar Rp 12 juta.
Ibu kandung korban, Leni Damanik, menyatakan kekecewaannya terhadap tuntutan tersebut. Menurutnya, hukuman yang diberikan terlalu ringan karena korban jelas-jelas meninggal akibat dipukuli.
“Tidak adil! Anak saya jelas-jelas dipukul sampai meninggal, tapi hukumannya hanya satu tahun. Saya kesal dan meminta majelis hakim memberi hukuman yang seadil-adilnya,” ujar Leni.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan sebagai kuasa hukum korban menilai tuntutan dari Oditur Militer terlalu ringan. Mereka menilai bahwa tuntutan ini menjadi simbol impunitas terhadap terdakwa dan menghilangkan rasa keadilan di peradilan militer.
Richard Hutapea dari LBH Medan menyatakan bahwa tindakan Riza bertentangan dengan UUD 1945, Undang-Undang HAM, serta Konvensi Menentang Penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi.
LBH Medan mendesak majelis hakim untuk memberikan keadilan kepada korban dengan menjatuhkan putusan sesuai aturan hukum yang berlaku.
Mereka juga menyarankan agar terdakwa diberhentikan sebagai prajurit TNI. Desakan ini bukan tanpa alasan, karena tindakan Riza bertentangan dengan sumpah prajurit dan delapan wajib TNI.
Perkara ini berawal dari tawuran di bantaran rel kereta api. Korban sempat meminta izin kepada ibunya untuk keluar rumah membeli makanan. Saat melihat tawuran, korban langsung lari ketakutan setelah petugas gabungan datang.
Ia tertangkap oleh Riza dan langsung dipukuli. Setelah terjatuh ke bawah bantaran rel setinggi dua meter, korban mengalami luka di bagian kepala. Meski mencoba naik kembali, korban kembali disiksa dan akhirnya pingsan.
Kawan-kawan korban membawanya ke klinik terdekat, tetapi kondisi korban semakin memburuk. Saat pulang ke rumah, korban mengeluh sakit di seluruh tubuh dan tidak bisa duduk.
Akibatnya, mereka memanggil tukang pijat. Setelah menerima satu suapan makanan, korban muntah-muntah dan mengaku habis dipukuli tentara. Tukang pijat langsung membawanya ke rumah sakit.
Pihak rumah sakit pertama tidak dapat menangani kondisi korban karena keterbatasan alat. Akhirnya, korban dibawa ke Rumah Sakit Madani pada pukul 20.30 WIB. Dokter dan perawat melakukan tindakan medis, tetapi korban meninggal pada dini hari. Ibunya melihat melalui video call sambil menangis.
Leni kemudian melaporkan kematian anaknya ke LBH Medan dan Polsek Tembung. Polisi menyarankan membuat laporan ke Detasemen Polisi Militer (Denpom) I/5 Medan.
Leni menghadiri Denpom pada 28 Mei 2024, tetapi penyelidik belum menetapkan tersangka karena kekurangan saksi. Meskipun begitu, ibu korban terus mencari keadilan melalui Komnas HAM, LPSK, dan KPAI.