Potensi Besar Karbon Biru Kalimantan Timur, Jangan Dijual Murah

Potensi Besar Karbon Biru di Kalimantan Timur

JAKARTA – Kalimantan Timur memiliki potensi besar dalam pengembangan karbon biru, terutama dari ekosistem mangrove yang luas. Namun, pengelolaannya memerlukan kehati-hatian agar potensi tersebut tidak berakhir dijual murah di pasar karbon dunia.

Hal ini disampaikan oleh Mariski Nirwan, Manajer Senior Ketahanan Pesisir Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), dalam wawancara khusus terkait peluang dan tantangan perdagangan karbon biru di Indonesia.

Apa Itu Karbon Biru?

Karbon biru merujuk pada karbon yang tersimpan dalam ekosistem pesisir dan laut, seperti hutan mangrove, padang lamun, rawa asin (salt marsh), dan bahkan terumbu karang. Ekosistem ini mampu menyimpan karbon dalam jumlah besar, bahkan 3–10 kali lebih banyak dibandingkan hutan daratan.

Mangrove, misalnya, memiliki kemampuan menyimpan karbon yang luar biasa. Tapi kalau lahan mangrove dibuka, karbon itu akan lepas ke udara dan memperparah perubahan iklim.

Kalimantan Timur, Salah Satu yang Terluas

Kalimantan Timur disebut sebagai provinsi dengan luasan mangrove terbesar ketiga di Indonesia, setelah Papua dan Riau. Ini menempatkan Kaltim sebagai wilayah strategis dalam inisiatif mitigasi perubahan iklim berbasis karbon biru.

YKAN sendiri telah mengidentifikasi potensi karbon biru di Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K) Kepulauan Derawan dan Perairan Sekitarnya (KKP3K-KDPS). Namun, data terkait lamun masih dalam proses finalisasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Ancaman Alih Fungsi Lahan

Meski potensinya besar, ekosistem pesisir Kalimantan Timur menghadapi tekanan serius. Pembukaan lahan mangrove untuk tambak sempat melonjak tinggi pada 1990–2000-an. Sekitar 65 persen kerusakan mangrove saat itu disebabkan alih fungsi menjadi tambak.

Mariski menyoroti bahwa jika masyarakat hanya diminta menjaga mangrove tanpa ada insentif ekonomi, bagaimana mereka bisa bertahan hidup? Mereka juga butuh makan, butuh pendidikan untuk anak-anaknya.

Skema Perdagangan Karbon dan Manfaat bagi Masyarakat

Salah satu solusi yang ditawarkan adalah pendanaan karbon, baik melalui mekanisme pemerintah (result-based payment) seperti yang dilakukan melalui FCPF (Forest Carbon Partnership Facility), maupun pasar karbon sukarela (voluntary market).

Namun, Mariski menekankan pentingnya mekanisme pembagian manfaat (benefit sharing mechanism) agar masyarakat lokal ikut menikmati hasilnya. Masyarakat harus dilibatkan sejak awal.

Jika mereka yang menjaga hutan, mereka juga yang harus ikut menentukan bentuk manfaat yang diterima. Bisa dalam bentuk program pelatihan, peningkatan kapasitas, atau dukungan ekonomi alternatif.

Jangan Jual Murah Potensi Kita

Dengan makin banyaknya pengembang proyek karbon di Indonesia, Mariski mengingatkan agar Indonesia tidak menjual potensi karbon birunya dengan harga rendah. Banyak negara di luar punya uang tapi nggak punya lahan.

Kita punya lahan, jangan sampai kita jual murah. Harus sesuai harga pasar, bahkan bisa di harga premium. Harga karbon biru bisa sangat bervariasi, tergantung jenis proyek—apakah itu perlindungan atau restorasi—dan standar yang digunakan seperti VERRA atau Plan Vivo.

Regulasi Masih Perlu Diperkuat

Meski kerangka regulasi sudah ada, Mariski menyebut masih ada ruang untuk perbaikan, terutama dalam hal transparansi harga dan pelibatan masyarakat lokal.

Ia berharap regulasi ke depan bisa lebih berpihak pada kepentingan jangka panjang, baik dari sisi lingkungan maupun kesejahteraan masyarakat pesisir. Kita jangan sampai kalah hanya karena tidak siap atau tidak tahu nilainya. Kita yang punya, kita juga yang harus menentukan masa depannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *