BANDAR LAMPUNG – Tokoh masyarakat dan praktisi pendidikan di Bandar Lampung mengungkapkan kekhawatiran terkait tindakan yang dianggap tidak sejalan dengan prinsip pemerintahan yang adil.
Mereka menyinyalir bahwa Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal dan Wali Kota Bandar Lampung Eva Dwiana diduga bekerja sama dalam upaya “menyuntik mati” sekolah swasta. Tudingan ini muncul setelah ditemukan indikasi adanya ketidakseimbangan dalam pengelolaan sistem pendidikan.
Menurut M. Arief Mulyadin, seorang praktisi pendidikan, jumlah siswa di SMA/SMK Negeri di Bandar Lampung mencapai lebih dari 12 ribu dari total sekitar 14 ribu lulusan SMP tahun 2024/2025.
Sementara itu, siswa yang tersisa sekitar 2 ribu orang menjadi rebutan ratusan sekolah swasta. Hal ini menunjukkan adanya keterbatasan ruang untuk siswa di sekolah negeri.
Selain itu, Wali Kota Bandar Lampung yang akrab disebut sebagai The Killer Policy, diketahui memiliki rencana membangun SMA Swasta bernama Siger. Namun, sekolah tersebut masih berstatus ilegal.
Pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung menyatakan bahwa izin Siger hanya diberikan secara lisan dan belum lengkap secara administratif.
Arief menilai bahwa Gubernur RMD tidak mungkin tidak mengetahui tentang perizinan ini. Bahkan, ia menemukan informasi di media digital yang mendukung langkah Wali Kota dalam mendirikan sekolah ilegal. Langkah ini dinilai melanggar beberapa peraturan perundang-undangan, seperti:
- Permendikbudristek RI Nomor 36 Tahun 2014
- Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2001
- Peraturan Pemerintah RI Nomor 66 Tahun 2010
- Permendikdasmen Nomor 1 Tahun 2025
Tindakan ini juga membutuhkan anggaran antara 1 hingga 10 miliar rupiah, namun tampaknya tidak ada pembatasan dari pihak gubernur.
Kekhawatiran atas Kebijakan yang Dianggap Tidak Adil
Panglima Ormas Ladam, Misrul, merasa geram terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil ini. Ia menilai bahwa kebijakan yang mendukung pendirian sekolah ilegal merupakan tindakan tangan besi yang menghilangkan simpati dan empati terhadap masyarakat.
Ia menanyakan, bagaimana bisa seorang pemimpin mendukung hal yang jelas-jelas melanggar aturan. Ini membuat banyak pihak khawatir terhadap masa depan pendidikan di wilayah tersebut.
Indikasi Kekacauan dalam Pengelolaan Data Siswa
Indikasi lain muncul ketika Arief menerima laporan dari rekan-rekannya pada Senin, 11 Agustus 2025. Kepala SMA/SMK Swasta mengeluh karena para camat dan lurah datang ke sekolah mereka untuk meminta data siswa tanpa menjelaskan tujuannya. Mereka khawatir data tersebut digunakan untuk merebut siswa dari sekolah swasta masuk ke Sekolah Siger yang masih ilegal.
Sekolah swasta yang belum terdaftar di dapodik berisiko tidak dapat mengeluarkan ijazah, sehingga menimbulkan kekhawatiran terhadap kesempatan belajar siswa pra sejahtera.
Penolakan Terhadap Penggunaan Data Siswa
Kepala Bidang Pembinaan SMK menyarankan agar pihak sekolah tidak memberikan data siswa kepada pihak luar, termasuk aparat kecamatan dan kelurahan, kecuali jika ada surat resmi. Ia menegaskan bahwa selama ini tidak ada koordinasi dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung.
Selain itu, ada perintah sistematis di grup RT untuk meminta data siswa kurang mampu dengan dalih pemberian PIP. Arief menilai bahwa ini adalah tindakan culas dan membodohi publik, karena dana PIP langsung diberikan oleh pemerintah pusat tanpa melalui Pemkot Bandar Lampung.
Kecurigaan Terhadap Kolaborasi Gubernur dan Wali Kota
Arief menilai bahwa diamnya Gubernur RMD bukan hanya karena takut bertindak, tapi juga kemungkinan adanya kolaborasi antara keduanya dalam upaya “menyuntik mati” sekolah swasta. Indikasinya adalah perizinan yang tidak dibatasi dan penerimaan siswa di SMA/SMK negeri yang melebihi kapasitas ruang kelas.
Eva Dwiana, menurut Arief, harus jujur dan memohon maaf kepada masyarakat pendidikan. Jika tidak, maka masyarakat akan melakukan perlawanan terhadap tindakan tersebut.
Permintaan Arief didukung oleh Panglima Ladam yang sangat kecewa dengan dua pemimpin tersebut. Ia menduga bahwa upaya ini tidak hanya terjadi di Bandar Lampung, tetapi juga berlaku di kabupaten/kota lain di Lampung.
Realita yang Mengkhawatirkan
Sejauh ini, fakta menunjukkan bahwa banyak sekolah swasta tutup, termasuk SMK Penerbangan Radin Intan dan SMA/SMK legendaris Bhakti Utama yang terjual.
Gerakan door to door camat dan lurah ke sekolah-sekolah untuk meminta data siswa tanpa koordinasi dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung juga semakin marak. Selain itu, ada gerakan sistematis di grup RT untuk mencari data peserta didik kurang mampu dengan dalih “iming-iming” PIP.
Kepala Bidang Pembinaan SMK Disdikbud Provinsi Lampung Sunardi juga menyampaikan bahwa anak yang tidak mampu bisa diiming-imingi beasiswa dari Pemkot, tetapi sekolahnya di Siger. Ini memperkuat dugaan bahwa ada upaya sistematik untuk merebut siswa dari sekolah swasta.
Dengan situasi ini, pertanyaan besar muncul: Apakah sekolah swasta mampu bertahan dalam kondisi yang terkesan sewenang-wenang?