Siapa Bilang Whoosh Bom Waktu? Justru Dapat Dua Kali Untung!

Dari “Bom Waktu” Menjadi “Bom Untung”: Potensi Besar Kereta Cepat Jakarta-Bandung

JAKARTA – Beberapa waktu lalu, Direktur Utama PT KAI, Bobby Rasyidin, menyebut proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Whoosh) sebagai “bom waktu” bagi keuangan BUMN. Pernyataan itu menimbulkan banyak tanda tanya di kalangan publik: bagaimana mungkin sebuah simbol kemajuan bangsa disebut sebagai ancaman?

Namun di sisi lain, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa justru mengatakan bahwa APBN tidak akan menanggung utang kereta cepat. Ia menegaskan bahwa ini adalah urusan bisnis antar BUMN, bukan beban negara. Dua pernyataan tersebut sebenarnya tidak bertentangan. Mereka seperti dua sisi uang logam: satu mengingatkan risiko, sementara yang lain menuntun peluang.

Dan peluang itu justru lebih besar — jika kita berani berpikir cepat dan memperhatikan potensi yang tersembunyi di balik proyek ini.

Bom Waktu Itu Bernama Monotoni

Mari kita jujur. Jika Whoosh hanya bergantung pada penumpang, maka proyek ini memang bisa dianggap sebagai bom waktu yang berdetak pelan. Dengan okupansi harian sekitar 20 ribu penumpang dan tarif rata-rata Rp 250 ribu, pendapatan kotor tahunan baru mencapai sekitar Rp 1,8 triliun. Sementara beban bunga utang mencapai hampir Rp 1,9 triliun per tahun.

Artinya, penjualan kursi belum cukup untuk menutup biaya operasional. Tapi di baliknya ada peluang yang lebih besar.

Di Baliknya Ada “Bom Untung”

Jika dikelola dengan visi baru, Whoosh justru bisa meledak dua kali lebih menguntungkan. Berikut beberapa peluang yang bisa dimanfaatkan:

  1. Logistik Cepat – Saat Kripik Tempe Masih Hangat

    Bayangkan jika satu gerbong Whoosh diubah menjadi “High-Speed Cargo Cabin”. Kripik tempe dari Cimahi bisa sampai Jakarta masih hangat. Soto Betawi dari Tanah Abang dikirim ke Bandung masih berasap. Dokumen hukum, sampel produk, hingga paket e-commerce bisa tiba dalam satu jam. Dengan biaya logistik Indonesia yang masih 14,29% dari PDB, layanan logistik cepat bisa menambah pendapatan sebesar Rp 0,5–1 triliun per tahun. Yang penting bukan kecepatannya, tapi fungsi ekonominya.

  2. Properti & Kota Baru – Belajar dari Citayam

    Lihatlah Citayam. Dulu hanya kota kecil di pinggiran Depok, kini hidup karena akses KRL. Harga tanah naik, bisnis tumbuh, anak muda menulis sejarah Citayam Fashion Week. Kuncinya: transportasi. Bayangkan jika stasiun Whoosh — Halim, Karawang, Padalarang, Tegalluar — dikelola sebagai kota baru berbasis Transit-Oriented Development (TOD): hunian, ruko, pergudangan, dan co-working space di seputar stasiun cepat. Jutaan rumah bisa dibangun lebih hemat, industri baru bisa tumbuh. Itu bukan mimpi. Itu strategi yang dilakukan Jepang dan China, di mana penghasilan utama bukan dari tiket, tapi dari lahan di sekitar rel.

Purbaya dan Disiplin Fiskal

Sikap Purbaya yang menolak dana APBN bukan bentuk penolakan pembangunan, tapi disiplin fiskal: uang rakyat tak boleh jadi penyelamat manajemen yang lambat beradaptasi. Sebaliknya, itu dorongan agar KAI dan Danantara bertransformasi — dari operator rel menjadi penggerak ekosistem ekonomi.

Kesimpulan

Whoosh memang bisa jadi bom waktu, tapi hanya kalau dibiarkan berjalan tanpa arah bisnis yang jelas. Sebaliknya, jika berani berinovasi — membuka logistik cepat, membangun kota baru, dan menata kawasan TOD dengan insentif pemerintah — maka Whoosh akan jadi bom untung yang meledak dengan manfaat ganda.

Kereta cepat bukan sekadar proyek gengsi. Ia adalah jalur masa depan: saat Mi Kocok Bandung masih panas di Jakarta, dan Soto Betawi masih berasap di Bandung. Dan jika itu terjadi, maka jelas — bukan hanya Whoosh yang cepat, tapi cara kita berpikir tentang pembangunan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *