Tarekat: Jalan Mendekatkan Diri pada Tuhan

Definisi Tarekat dalam Perspektif Tasauf

Tarekat memiliki berbagai definisi yang bervariasi, seperti mempersepsikan seekor gajah. Masing-masing orang bisa saja memiliki pandangan berbeda. Ada yang menganggap gajah seperti mahkota karena fokus pada bagian gadingnya. Ada pula yang menyatakan bahwa gajah seperti pipa air karena terbatas menyentuh belalainya yang panjang. Selain itu, ada yang menggambarkan gajah seperti kipas karena daun telinganya yang lebar dan berkibar-kibar, atau gajah seperti tiang karena hanya menyentuh sepasang kakinya.

Dalam konteks tarekat, beberapa definisi dapat ditemukan dalam al-Qur’an. Misalnya, QS. al-Fatihah/1: 6 menggambarkan tarekat sebagai jalan menuju Tuhan. Sementara itu, QS. al-Maidah/5: 35 menjelaskan bahwa tarekat juga bisa diartikan sebagai sarana atau metode untuk sampai ke Tuhan. Kata “tarekat” sendiri muncul beberapa kali dalam al-Qur’an dengan makna yang berbeda-beda. Dalam QS. al-Nisa/4: 168 dan 169, serta QS. al-Jin/72: 11, kata tersebut merujuk pada agama atau keyakinan. Di QS. Thaha/20: 63 dan 104, tarekat berarti kedudukan. Sedangkan dalam QS. al-Ahqab/46: 30 dan 77, serta QS. al-Mu’minūn/23: 17 dan 16, tarekat diartikan sebagai jalan.

Dalam literatur tasauf, tarekat sering dikaitkan dengan konsep takhalli, tahalli, dan tajalli. Takhalli merujuk pada pelepasan diri dari perangai buruk. Tahalli adalah penghiasan diri dengan akhlak terpuji. Sedangkan tajalli merupakan upaya mendekatkan diri kepada Tuhan.

Tarekat sebagai Wasilah

Seorang hamba tidak akan bisa sampai kepada Tuhan tanpa adanya wasilah atau perantara. Dalam tarekat, wasilah ini disebut dengan sanad. Sanad merupakan hubungan antara murid dengan guru atau mursyid. Sanad seorang mursyid harus bersambung hingga kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, amalan yang dilakukan oleh seorang mursyid pada dasarnya berasal dari Nabi SAW.

Contohnya, dalam zikir, jika tidak dilakukan melalui talqin (pembimbingan) dari seorang mursyid, maka hasilnya tidak akan sempurna. Jika seseorang telah memperoleh bacaan zikir dari mursyid, maka ia masuk dalam silsilah mursyidnya hingga ke Nabi SAW. Hubungan ini diibaratkan seperti rantai yang saling bergandengan, sehingga jika induk rantai ditarik, semua lingkaran yang terangkai akan ikut tertarik.

Orang yang berzikir tanpa sanad ibarat anak rantai yang terlepas dari rangkaian utamanya. Meskipun induk rantai ditarik, ia tidak akan ikut tertarik. Oleh karena itu, syarat utama sebuah tarekat adalah memiliki mursyid atau guru yang silsilah keilmuannya bersambung hingga ke Nabi SAW.

Tarekat Muktabarah

Dalam konteks hadis, sebuah hadis dikatakan sahih jika sanad periwayatannya bersambung hingga kepada Nabi SAW. Demikian pula dengan tarekat, jika sanad mursyidnya sampai kepada Nabi SAW, maka tarekat tersebut disebut sebagai tarekat muktabarah. Artinya, tarekat tersebut benar, sahih, dan diakui orisinilitasnya.

Puang Makka menegaskan dua syarat pokok tarekat muktabarah. Pertama, harus memiliki sanad yang jelas. Sanad dalam tarekat berfungsi sama seperti dalam hadis, yaitu menjaga otensitas ajaran. Kedua, selain dari segi sanad, tarekat juga dilihat dari ajaran dan amalannya. Bisa saja suatu tarekat memiliki sanad yang jelas, tetapi setelah berkembang, ajarannya justru melenceng dari apa yang diajarkan oleh para syekh terdahulu. Oleh karena itu, jangan hanya berpatokan pada sanad, tetapi juga pada ajaran dan amalannya yang sahih.

Tarekat muktabarah tidak terlepas dari syarat ketat, yaitu sanad dan amalannya yang bersumber dari al-Qur’an, hadis, serta ulama mursyid dengan sanad yang jelas. Ajaran maupun amalan mursyid diyakini berasal dari Nabi SAW melalui rangkaian sanad tersebut. Dengan demikian, keotentikannya terpelihara.

Mursyid dalam tarekat muktabarah disebut sebagai waliyyan mursyida, sesuai dengan QS. al-Kahfi/18: 17. Hadis Nabi SAW menyebutkan bahwa para ulama adalah pewaris nabi. Dari sini, mursyid tarekat sebagai pemegang sanad keilmuan menjadi representasi dari pewaris nabi.

Nabi SAW bersabda, “Saya adalah gudang ilmu dan Ali bin Abu Thalib adalah pintunya.” Hadis lain menyebutkan bahwa Abu Bakar As-Shiddiq adalah sahabat Nabi yang paling mendalam ilmunya. Dari perspektif hadis ini, Nabi SAW sengaja memilih Ali dan Abu Bakar sebagai sumber sanad tarekat dari sekian banyak mursyid.

Kenapa Nabi SAW hanya memilih Ali dan Abu Bakar? Apakah sahabat lain juga bertarekat? Dari sini dipahami bahwa tidak semua orang wajib bertarekat dan tidak semua orang memilih tarekat sebagai jalan hidupnya. Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamit Thariq.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *