Wamenkum: Kami memiliki catatan yang rapi mengenai masukan-masukan untuk RUU KUHAP

JAKARTA – Wakil Menteri Hukum RI (Wamenkum), Edward Omar Sharif Hiariej atau biasa disapa Eddy Hiariej, mengatakan bahwa Pemerintah dan DPR terus mencari masukan dari berbagai elemen masyarakat dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).

Eddy mengatakan, RUU KUHAP masih terbuka untuk diperdebatkan, bahkan DPR berencana untuk melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum untuk menerima aspirasi masyarakat.

Ia juga mengatakan bahwa Kementerian Hukum melakukan inventarisasi masukan yang rinci dan jelas, mencakup pihak siapa yang memberikan masukan apa pada tanggal berapa.

“Kami memiliki catatan yang rapi mengenai dari siapa masukan ini, kami mengakomodasi seperti ini, mengapa usulan ini tidak kami akomodasi, apa dasar pertimbangannya. Kami dari pemerintah dan DPR wajib untuk mendengarkan masukan, wajib untuk mempertimbangkan, kemudian dalam pertimbangan kami mengapa tidak menggunakan usulan ‘A’ tetapi kami menggunakan usulan ‘B’, itu kami wajib untuk menjelaskan kepada publik. Itu adalah arti daripartisipasi yang bermakna,” kata Eddy dalam keterangan tertulis, dikutip Senin (11/8/2025).

Eddy menjelaskan bahwa filosofi hukum acara pidana bukanlah untuk memproses tersangka, melainkan untuk melindungi hak asasi manusia (HAM) dari kesewenang-wenangan negara.

Oleh karena itu, RUU KUHAP yang sedang dibahas ini dirumuskan dengan sebaik-baiknya agar tidak memihak satu pihak dan meninggalkan pihak lain.

“Oleh karena itu, ketika membicarakan hak korban, hak tersangka, hak perempuan, hak saksi, hak disabilitas, semuanya akan kita tampung karena pengarusutamaan dari filosofi hukum pidana bukan lain dan bukan bukan untuk melindungi hak asasi manusia dari kesewenang-wenangan individu,” katanya.

Eddy mengungkapkan bahwa dalam hukum acara pidana terdapat dua kepentingan yang bertentangan, yaitu pihak pelapor dan pihak terlapor.

Dengan demikian, hukum acara pidana harus disusun secara netral. Di satu sisi terdapat wewenang aparat penegak hukum, namun di sisi lain wewenang tersebut harus dikendalikan agar tidak melanggar hak asasi manusia.

“Untuk mencegah terjadinya kriminalisasi terhadap warga, dalam usulan pemerintah kami menyatakan bahwa untuk menyeimbangkan antara wewenang polisi dan jaksa yang begitu besar, tidak lain dan tidak bukan kita harus memperkuat dan menempatkan pengacara ini setara dengan polisi dan jaksa,” katanya.

Pendampingan advokat wajib ada sejak penyelidikan

Dalam RUU KUHAP, kata Eddy, pengacara memainkan peran yang penting dan bersifat imperatif.

Artinya, setiap orang yang diproses secara hukum harus didampingi oleh pengacara, mulai dari tahap penyelidikan.

Dia mengatakan, pengacara berhak mengajukan keberatan dan dicatatkan dalam berita acara pemeriksaan.

“Peran pengacara sangat sentral karena sejak seseorang dipanggil, belum masuk ke penyidikan, ketika dia dipanggil untuk dimintai klarifikasi atau keterangan pada tahap penyelidikan, dia wajib didampingi oleh pengacara. Pengacara tidak hanya duduk diam di situ. Pertama, dia berhak mengajukan keberatan. Kedua, keberatan itu dicatatkan dalam berita acara sehingga penyelidikan tersebut akan terlihat oleh umum,” katanya.

Di sisi lain, Eddy mengakui bahwa KUHAP yang saat ini berlaku lebih fokus pada kewenangan aparat penegak hukum, bukan pada perlindungan HAM.

Oleh karena itu, RUU KUHAP disusun dengan prinsipproses hukum yang adilyang menjamin dan melindungi hak-hak individu, serta memastikan aparat penegak hukum menjalankan aturan yang tercantum dalam KUHAP.

Justice restoratif tidak berlaku jika terjadi pengulangan perbuatan

Eddy juga setuju akan pentingnya pengungkapan kebenaran.

Menurutnya, pengungkapan kebenaran diperlukan untuk memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak terkait.

Dengan adanya laporan fakta, jika seseorang ketahuan melakukan tindak pidana yang kedua kalinya, ia tidak bisa mendapatkankeadilan pemulihanlagi.

“Pengungkapan kebenaran harus ada. Karena jika tidak, dia tidak akan tahu apakah dia benar atau salah. Nanti kasihan korban yang tidak memiliki kepastian hukum. Harus ada pengungkapan kebenaran agar ketika dia melakukan tindak pidana lagi, tidak bisa lagi direstorasi karena sudah lebih dari sekali. Jadi ada pembatasan-pembatasan terhadap penerapan suatu perkara untuk dilakukan restorasi. Jadi tidak bisa seenaknya,” katanya.