Perbedaan Kondisi Ekonomi dan Sosial Malaysia serta Indonesia
JAKARTA – Pada lini masa media sosial, banyak warganet yang mengaitkan kemajuan negara Malaysia dengan sejarah penjajahan Inggris sejak tahun 1824. Pembahasan ini dimulai dari pertanyaan warganet tentang mengapa Malaysia lebih maju meskipun merdeka lebih akhir dibandingkan Indonesia.
Mereka bertanya, “Lebih duluan Indonesia merdeka, tapi kenapa Malaysia jauh lebih maju ya? Perusahaan minyak mereka Petronas juga lebih banyak di event Internasional + harga bensin lebih murah padahal secara resources mungkin gedean Indonesia,” tulis akun @t**l pada Kamis (2/10/2025).
Banyak warganet menanggapi unggahan tersebut dengan mengaitkan peran Inggris di era kolonialisme Malaysia. “Kalo menurut gua karena inggris sempet ‘ngebantu’ bikin pondasi ekonomi di malaysia, beda sama belanda,” tulis @a*e, Kamis (2/10/2025).
Pertanyaan ini memicu diskusi apakah Malaysia lebih maju karena dijajah Inggris, sementara Indonesia tertinggal karena dijajah Belanda.
Penjajahan Inggris vs Belanda
Menurut pemimpin redaksi Abad.id sekaligus sejarawan publik Hendaru Tri Hanggoro, anggapan tersebut terlalu menyederhanakan atau memsimplifikasi. Sebab, menurutnya, perspektif poskolonal mengingatkan masyarakat bahwa tidak ada penjajahan yang bersifat baik.
“Semua kolonialisme pada dasarnya adalah sistem eksploitasi,” ujar Hendaru, Sabtu (4/10/2025).
Ia pun membenarkan bahwa Inggris membawa bahasa Inggris, sistem hukum, dan jaringan perdagangan global di Malaysia yang saat itu masih bernama Malaya. Walaupun begitu, kata dia, Inggris juga mengeruk timah dan karet di sana dan menjadikan penduduk sebagai buruh murah.
“Bahkan, (Inggris) sempat bikin kamp konsentrasi ‘New Villages’ dan pembantaian Batang Kali 1948. Jadi, jelas tidak manis-manis amat,” terang Hendaru.
“Belanda di Indonesia tidak kalah parah. Dari VOC yang monopoli rempah, sampai Tanam Paksa abad ke-19 yang bikin rakyat kelaparan demi mengisi kas negeri Belanda,” sambung dia.
Dia turut menyebut Perang Aceh, Ordinansi Kuli, dan kekerasan militer pascaproklamasi yang menunjukkan bahwa kolonialisme Belanda didasarkan pada pemerasan tenaga dan sumber daya.
“Kadang orang bilang Inggris lebih membangun daripada Belanda. Padahal, bangun sekolah atau jalan raya itu ada motifnya,” tambah dia.
Ia menjelaskan, penyebab Inggris melakukan pembangunan daerah jajahan tersebut adalah agar ekonomi kolonial lebih lancar, bukan diniatkan untuk membuat rakyat di sana maju.
“Bahkan di Jawa, Inggris pernah nunjukin wajah brutal. Tahun 1812, pasukan Inggris menyerbu Keraton Yogyakarta, merampas harta benda, artefak, sampai manuskrip kuno,” tambah dia.
Karena itu, Hendaru menegaskan, klaim “Inggris lebih baik dari Belanda” memiliki fakta yang tidak sesederhana itu.
Penyebab Malaysia Lebih Maju
Hendaru mengutip tokoh pemikir poskolonial, Frantz Fanon dan Edward Said, yang pernah mengatakan bahwa kolonialisme bukan hanya tentang ekonomi, tetapi juga soal kekerasan struktural dan penjajahan mental.
“Kalau hari ini ada yang masih bilang ‘coba Indonesia dijajah Inggris’, itu sebenarnya cermin mentalitas terjajah yang masih mengidealkan penjajah,” jelas Hendaru.
Dia pun mengatakan, Malaysia memang mendapatkan warisan bahasa Inggris dan sistem pemerintahan parlemen Westminster dari Inggris, sementara Indonesia mendapat warisan sistem hukum civil law dari Belanda.
“Tapi jangan lupa, tiap bangsa juga punya jalannya sendiri setelah merdeka. Malaysia merdeka 1957 lewat negosiasi, Indonesia 1945 lewat perang. Konteks awal merdeka beda banget,” tutur dia.
Dia pun menjelaskan bahwa ada beberapa faktor lain yang memengaruhi kemajuan negara Indonesia dan Malaysia. “Jumlah penduduk Indonesia jauh lebih besar, geografi lebih luas, politik lebih bergejolak, dari Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, sampai Reformasi,” ujar Hendaru.
“Malaysia lebih kecil, relatif lebih stabil, dan bisa jalankan kebijakan pembangunan lebih konsisten. Jadi bukan sekadar soal ‘penjajahnya siapa’,” lanjutnya.
Ia pun mengimbau masyarakat untuk berfokus pada dekolonialisasi pikiran, dengan cara belajar kritis dari sejarah, tanpa meromantisasi kolonial. “Masa kini dan depan sebuah bangsa tidak ditentukan penjajah, melainkan oleh bangsa itu sendiri,” pungkas dia.